Blogger templates

Saturday, March 3, 2018

Random Talk


Hasil gambar untuk random talk
Source : Google
Dulu ketika ditanya tentang cita-cita ingin berkuliah di mana, aku selalu menjawab “Aku pengen kuliah di Jawa, UGM kalau nggak Unpad,” Ya, itu dulu. Dengan santai dan pongahnya aku mengucapkan niat dan keinginan hati untuk bisa menjadi bagian dari kampus-kampus ternama tadi. Orangtuaku sendiri tidak mengizinkanku untuk berkuliah di Jawa karena bronkitisku. Sedih memang, kecewa sudah pasti. Ketika itu aku mencoba untuk bisa diterima di PTN favorit tersebut. Aku ikut bimbel sana-sini, les mata pelajaran yang aku anggap aku lemah di subjek tersebut. Tetapi masalahnya terletak pada ketidakterusterangan alasanku untuk mengikuti segala ritual tahunan yang sudah pasti dilakukan lulusan segar SMA  sebelum masuk PTN idaman mereka. Yap, ikut berbagai bimbel. Bahkan sampai galau dan bingung sendiri untuk memilih satu bimbel yang terbaik (dengan modal minim tentunya). Seolah, hidup kita ditentukan oleh tepatnya memilih tempat bimbel. Aku bilang kepada kedua orangtuaku agar aku bisa diterima di PTN yang ada di Riau dengan mengikuti bimbel tersebut. Sangat berlebihan memang. Hal itu aku lakukan karena lagi lagi kedua orangtuaku tidak memberi izin untukku keluar dari Riau. Aku berpikir, toh nanti kalau aku diterima di Jawa, mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua pasti akan mengiyakan.


Kemudian orangtuaku mengizinkan dengan senang hati (ikut bimbel), karena alasan bohongku tadi. “Cukup di Riau saja kuliahnya, sama saja kok di Riau, Jawa, bahkan luar negeri sekali pun. Yang penting orangnya, serius kuliah atau nggak!” begitulah kira-kira perkataan kedua orang tuaku. Saat itu aku jengkel sekali, karena menurutku, ya jelas bedalah di Jawa dengan di Riau. Aku menganggap di Jawa sudah pasti kampusnya bagus, fasilitasnya oke, dosennya hebat-hebat, mahasiswa/i-nya berpikir kritis, pintar, rendah hati, tahu tata krama,  dan sudah pasti kampusnya terkenal dan punya ‘nama’. Kalau sudah begitu, pasti mudah saja aku mencari kerja kelak. Tetapi ternyata kebohonganku tadi Allah kabulkan dan akhirnya aku benar-benar berkuliah di PTN yang ada di Riau.


Seiring dengan semua usaha yang kulakukan, sekeras apapun aku mencoba, jikalau kedua orangtua tidak ridho , semua usahaku sia-sia. Bukan berarti ‘sia-sia’ apa yang aku usahakan tadi babar blas tidak berguna. Aku percaya Allah Maha Baik, Allah tidak akan benar-benar menghancurkan segala harapan dan cita-citaku. Akan tiba waktunya segala apa yang aku usahakan akan membawaku kepada hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.


Semakin aku dewasa, semakin aku mengerti bahwa kedua orangtuaku  sangat menyayangiku, mengkhawatirkanku, dan peduli padaku. Mereka takut kalau aku berada di jarak yang jauh dari mereka. Mereka takut aku kekurangan segala apa yang aku butuhkan. Selama ini, aku hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri tanpa mencoba mencari tahu apa yang membuat orangtuaku bahagia. Sesederhana itu, kedua orangtuaku hanya ingin dekat denganku.


Setelah melalui segala hal yang begitu rumit dan orangtua selalu mengingatkan untuk berkuliah di Riau saja, entah kenapa aku sampai di titik aku menyerah pada keinginanku yang sudah tertanam sejak aku SMP itu. Akhirnya ketika tes SBMPTN, aku memilih UIN Suska dan aku lulus di Jurusan Ilmu Komunikasi. Kembali lagi, UIN adalah pilihan kedua orangtuaku. Setidaknya, ketika aku kuliah ada yang mengingatkanku tentang agama selain orangtuaku, begitu pikir kedua orangtuaku. Dan kenapa aku mudah saja menerima kemauan kedua orangtuaku untuk memilih UIN? Padahal sudah banyak yang aku lalui dan kuusahakan untuk berkuliah di Jawa.


Nah, suatu ketika di malam hari bronkitisku kambuh dan rasanya umurku hanya sampai di malam itu saja. Di malam itulah aku melihat kedua orangtuaku menangisiku. Susah sekali untukku bernapas, dan aku ketakutan karena kedua orangtuaku menangis. Aku berpikir bahwa malaikat akan membawaku malam itu. Sambil memangku-ku, Ibuku menangis dan mendoakanku agar Allah mengangkat penyakitku. Satu malam tersebut telah mengubah keinginan kerasku untuk berkuliah di Jawa sekaligus meluluhkan hatiku yang membatu dan keegoisanku. Kejadian malam itu membuatku mulai sadar bahwa aku juga ingin selalu dekat dengan orangtuaku.


Kemudian aku menjalani kehidupan kuliahku. Tahun pertama sangat mudah bagiku untuk melewatinya. Aku punya banyak teman, dosen-dosennya baik, dan aku bergabung di salah satu organisasi pers mahasiswa di kampus. Jadi, waktuku sangat produktif dan selalu dikelilingi banyak orang. Tetapi, di tahun ke dua, kuliah mulai terasa berat. Beradaptasi dengan teman baru adalah hal yang paling aku tidak sukai. Di tahun ke dua ini, aku telah mengambil konsentrasi dan konsentrasi yang aku pilih berbeda dengan teman-teman lamaku. Kebanyakan dari mereka memilih konsentrasi Public Relation dan Broadcsting. Aku sendiri memilih Jurnalistik. Aku tertarik di konsentrasi ini berkat Gagasan (organisasi pers mahasiswa yang aku ikuti).


Hanya segelintir mahasiwa yang memilih konsentrasi ini. Bayangkan saja, kurang lebih 500-an mahasiswa jurusan ilmu komunikasi (angkatanku) dan hanya dua kelas untuk mahsiswa yang memilih konsentrasi jurnalistik. Satu kelas paling banyak terisi 40 mahasiswa (tapi kebanyakan hanya 38 siswa dalam satu kelas). Kalau pun full  40 mahasiswa, itu dibantu dengan mahasiswa semester atas yang mengulang atau belum mengambil mata kuliah di semester sebelumnya. Kemirisan tidak sampai di situ saja, banyak dari mereka yang masuk di konsentrasi jurnalistik ini karena mereka tidak diterima masuk di konsentrasi public relation atau broadcasting. Oleh karena itu, kata ‘Anak jurnal itu orang-orang buangan’ akrab sekali ditelingaku.

Tapi aku bersyukur, meski ‘buangan’ (kata mereka) setidaknya aku menikmati apa yang sudah menjadi pilihanku dan aku tidak membebani diriku dengan memaksakan aku harus ini atau itu. Orang bijak mengatakan ‘Mereka yang dapat mengatakan segala sesuatu bisa dijalani dengan mudah atau ah itu gampang,’ adalah mereka yang belum merasakan berada di posisimu. Begitu juga orang yang mengatakan konsentrasi jurnalistik itu diisi dengan orang-orang buangan, orang-orang bodoh, dan label buruk lainnya. Sudah maklumi saja, toh aku juga merasa konsentrasi lain tidak lebih keren dan bagus dari apa yang kupilih. Sesimpel itu, sudah lumrah apabila kita membanggakan apa yang menjadi milik kita dan merendahkan apa yang menjadi pilihan orang lain atau milik orang lain. Sampai di sini saja curhatanku kali ini. Maaf ya sudah melebar ke mana-mana. Thanks for reading, and keep waiting for the next one. Selamat bermalam minggu J

0 comments:

Post a Comment