Source : Google |
Kemudian orangtuaku mengizinkan
dengan senang hati (ikut bimbel), karena alasan bohongku tadi. “Cukup di Riau
saja kuliahnya, sama saja kok di Riau, Jawa, bahkan luar negeri sekali pun.
Yang penting orangnya, serius kuliah atau nggak!” begitulah kira-kira perkataan
kedua orang tuaku. Saat itu aku jengkel sekali, karena menurutku, ya jelas
bedalah di Jawa dengan di Riau. Aku menganggap di Jawa sudah pasti kampusnya
bagus, fasilitasnya oke, dosennya hebat-hebat, mahasiswa/i-nya berpikir kritis,
pintar, rendah hati, tahu tata krama,
dan sudah pasti kampusnya terkenal dan punya ‘nama’. Kalau sudah begitu,
pasti mudah saja aku mencari kerja kelak. Tetapi ternyata kebohonganku tadi
Allah kabulkan dan akhirnya aku benar-benar berkuliah di PTN yang ada di Riau.
Seiring dengan semua usaha yang
kulakukan, sekeras apapun aku mencoba, jikalau kedua orangtua tidak ridho ,
semua usahaku sia-sia. Bukan berarti ‘sia-sia’ apa yang aku usahakan tadi babar blas tidak berguna. Aku percaya
Allah Maha Baik, Allah tidak akan benar-benar menghancurkan segala harapan dan
cita-citaku. Akan tiba waktunya segala apa yang aku usahakan akan membawaku
kepada hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Semakin aku dewasa, semakin aku
mengerti bahwa kedua orangtuaku sangat
menyayangiku, mengkhawatirkanku, dan peduli padaku. Mereka takut kalau aku
berada di jarak yang jauh dari mereka. Mereka takut aku kekurangan segala apa
yang aku butuhkan. Selama ini, aku hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri
tanpa mencoba mencari tahu apa yang membuat orangtuaku bahagia. Sesederhana
itu, kedua orangtuaku hanya ingin dekat denganku.
Setelah melalui segala hal yang
begitu rumit dan orangtua selalu mengingatkan untuk berkuliah di Riau saja,
entah kenapa aku sampai di titik aku menyerah pada keinginanku yang sudah
tertanam sejak aku SMP itu. Akhirnya ketika tes SBMPTN, aku memilih UIN Suska
dan aku lulus di Jurusan Ilmu Komunikasi. Kembali lagi, UIN adalah pilihan
kedua orangtuaku. Setidaknya, ketika aku kuliah ada yang mengingatkanku tentang
agama selain orangtuaku, begitu pikir kedua orangtuaku. Dan kenapa aku mudah
saja menerima kemauan kedua orangtuaku untuk memilih UIN? Padahal sudah banyak
yang aku lalui dan kuusahakan untuk berkuliah di Jawa.
Nah, suatu ketika di malam hari
bronkitisku kambuh dan rasanya umurku hanya sampai di malam itu saja. Di malam
itulah aku melihat kedua orangtuaku menangisiku. Susah sekali untukku bernapas,
dan aku ketakutan karena kedua orangtuaku menangis. Aku berpikir bahwa malaikat
akan membawaku malam itu. Sambil memangku-ku, Ibuku menangis dan mendoakanku
agar Allah mengangkat penyakitku. Satu malam tersebut telah mengubah keinginan
kerasku untuk berkuliah di Jawa sekaligus meluluhkan hatiku yang membatu dan
keegoisanku. Kejadian malam itu membuatku mulai sadar bahwa aku juga ingin
selalu dekat dengan orangtuaku.
Kemudian aku menjalani kehidupan
kuliahku. Tahun pertama sangat mudah bagiku untuk melewatinya. Aku punya banyak
teman, dosen-dosennya baik, dan aku bergabung di salah satu organisasi pers
mahasiswa di kampus. Jadi, waktuku sangat produktif dan selalu dikelilingi
banyak orang. Tetapi, di tahun ke dua, kuliah mulai terasa berat. Beradaptasi
dengan teman baru adalah hal yang paling aku tidak sukai. Di tahun ke dua ini,
aku telah mengambil konsentrasi dan konsentrasi yang aku pilih berbeda dengan
teman-teman lamaku. Kebanyakan dari mereka memilih konsentrasi Public Relation
dan Broadcsting. Aku sendiri memilih Jurnalistik. Aku tertarik di konsentrasi
ini berkat Gagasan (organisasi pers mahasiswa yang aku ikuti).
Hanya segelintir mahasiwa yang
memilih konsentrasi ini. Bayangkan saja, kurang lebih 500-an mahasiswa jurusan
ilmu komunikasi (angkatanku) dan hanya dua kelas untuk mahsiswa yang memilih
konsentrasi jurnalistik. Satu kelas paling banyak terisi 40 mahasiswa (tapi
kebanyakan hanya 38 siswa dalam satu kelas). Kalau pun full 40 mahasiswa, itu dibantu dengan mahasiswa
semester atas yang mengulang atau belum mengambil mata kuliah di semester
sebelumnya. Kemirisan tidak sampai di situ saja, banyak dari mereka yang masuk
di konsentrasi jurnalistik ini karena mereka tidak diterima masuk di
konsentrasi public relation atau broadcasting. Oleh karena itu, kata ‘Anak
jurnal itu orang-orang buangan’ akrab sekali ditelingaku.
Tapi aku bersyukur, meski
‘buangan’ (kata mereka) setidaknya aku menikmati apa yang sudah menjadi
pilihanku dan aku tidak membebani diriku dengan memaksakan aku harus ini atau
itu. Orang bijak mengatakan ‘Mereka yang dapat mengatakan segala sesuatu bisa
dijalani dengan mudah atau ah itu gampang,’ adalah mereka yang belum merasakan
berada di posisimu. Begitu juga orang yang mengatakan konsentrasi jurnalistik
itu diisi dengan orang-orang buangan, orang-orang bodoh, dan label buruk
lainnya. Sudah maklumi saja, toh aku juga merasa konsentrasi lain tidak lebih
keren dan bagus dari apa yang kupilih. Sesimpel itu, sudah lumrah apabila kita
membanggakan apa yang menjadi milik kita dan merendahkan apa yang menjadi
pilihan orang lain atau milik orang lain. Sampai di sini saja curhatanku kali
ini. Maaf ya sudah melebar ke mana-mana. Thanks for reading, and keep waiting
for the next one. Selamat bermalam minggu J
0 comments:
Post a Comment