Source : Google |
Hujan. Aku tidak
tahu mengapa hujan selalu datang membawa memori yang tak terduga yang membawaku
berjalan kembali menyusuri masa lalu. Kadang ia datang bersama kenangan yang
aku sendiri bahkan tak mau mengingatnya lagi, sering juga hujan menghadiahiku
kenangan menyenangkan yang aku dan sahabatku lalui bersama.
Kali ini hujan turun
dengan membawa kerinduan, penyesalan, rasa kesal, dan amarah. Rindu kepada
sosok yang selalu ada untukku sedari aku masih kanak-kanak. Perasaan menyesal
untuknya yang juga selalu menjadi tempat untukku menceritakan semua hal yang
terjadi padaku, tentangku, seolah tidak ada dinding privasi. Rasa kesal untuk
Dia yang dulu berbakat mengubah kesalku berubah menjadi guyonan yang menggelikan. Juga
amarah untuk Dia yang tidak pernah memarahiku tak peduli betapa menyebalkannya
aku.
Aku dan Dia dulu
adalah sahabat baik. Sangat baik, sangat dekat, menyayangi dan menjaga satu
sama lain hingga akhirnya kami tidak berkomunikasi lagi untuk alasan yang
sebenarnya tidak kupahami. Ketika aku bersamanya, aku merasa tidak membutuhkan
orang lain lagi, cukup bersamanya. Aku merindukan sahabatku dulu. Dia yang
mewarnai hari-hariku sejak SD hingga SMA, meskipun ketika SMA kami bersekolah
di sekolah yang berbeda.
Aku tidak pernah
membayangkan kami akan menjadi seperti ini. Diam dan sunyi. Tidak saling
mengabari satu sama lain. Padahal jika dibandingkan zaman ketika SD yang tidak
punya Handphone pun kami tetap bisa
mengetahui keadaan masing-masing. Mungkin ini kedengaran berlebihan atau
semacamnya mengingat semua orang pasti mempunyai sahabat. Tapi memang begitulah
aku dan sahabatku.
Hujan mengajakku
mengenang janji kami ketika masih kecil untuk selalu bersama, menjalani
kehidupan yang baik, tumbuh bersama, dan menjadi apa yang kami cita-citakan.
Seperti ritual anak kecil kebanyakan yang membuat janji dengan mengaitkan jari
kelingking dan jempol mereka, yang kemudian jempolku kutempelkan kedahinya, begitu
pun Dia. Itulah yang kami lakukan untuk mengikat janji kami berdua. Alasannya
sih agar kami berdua mengingat janji itu selama-lamanya hehe.
Hmm, tapi semua itu
dulu. Aku tidak tahu apakah ketika orang beranjak dewasa hubungan persahabatan
yang telah terjalin sejak kecil akan luntur seiring banyaknya perbedaan
kesibukan masing-masing. Aku harap itu tidak benar. Atau karena jarak yang jauh
yang membuat seseorang malas untuk sekadar memberi tahu “Aku baik-baik saja”.
Ahh entahlah.
Malam ini tidak banyak
perbedaan seperti malam-malam lainnya, aku duduk di depan leptopku lalu
mengetik huruf demi huruf di keyboard
leptopku. Tapi kali ini hujan tak kunjung reda, dan terus menguak setiap
kenanganku dengan sahabat baikku dulu.
Aku ingat, dulu
setelah kami lulus SMA, aku dan sahabatku berkeinginan untuk berkuliah di
kampus yang sama untuk mewujudkan janji ketika kecil untuk bersama-sama menjadi
apa yang kami inginkan. Kami berdua meyakinkan kedua orangtua kami untuk
berkuliah di Jawa. Tapi, saat itu penyakit bronkitisku
yang sedang parah membuat kedua orangtuaku tidak mengizinkanku untuk berkuliah
di Jawa. Pertimbangan udara yang lebih dingin di daerah Jawa memberatkan
orangtuaku untuk memberiku izin berkuliah di Jawa mengingat penyakitku yang
sensitif dengan udara dingin. Jawa adalah kota impianku untuk bisa menuntut
ilmu dan meraih apa yang kuimpikan. Jadi, aku sangat sedih dan marah ketika
itu. Sampai aku sadar bahwa kedua orangtuaku ingin memberikan yang terbaik
untukku.
Ketika itu,
sahabatku berhasil meyakinkan orangtuanya untuk merantau ke Jawa. Terbanglah ia
ke Yogyakarta, dan aku di Pekanbaru. Aku bangga sekaligus terbesit rasa iri
karena dia diizinkan berkuliah di Yogyakarta, tapi rasa banggaku kepadanya
mengalahkan rasa iri yang tercela itu.
Awal-awal masuk
kuliah intensitas komunikasi kami masih berjalan dengan baik. Aku selalu
menanyakan bagaimana rasanya berkuliah di kota yang notabenenya sebagai kota
pendidikan atau bertanya sudah mengunjungi tempat wisata di mana saja? Ahh..
mendengar dan melihat ekspresi wajahnya ketika menjawab pertanyaanku melalui videocall saja aku sudah tahu bahwa ia
sangat bahagia. Ya, aku iri lagi untuk beberapa hal.
Tibalah ulang
tahunku pada Desember tahun lalu. Dia mengirimiku voice note yang berisi suaranya menyanyikan lagu ulang tahun
untukku dan mendoakanku segala hal baik akan datang padaku. Tidak hanya itu, ia
juga mengirimiku fotonya yang sedang memegang kue ulang tahun untukku dengan
wajah tersenyum yang diterangi oleh cahaya lilin. Aku sangat terharu dan
bahagia karena walaupun jarak yang jauh aku tetap merasa ia dekat denganku.
Sampai akhirnya, aku
mendengar kabar bahwa terjadi permasalahan di antara keluarga kami yang
berimbas pada retaknya hubungan persahabatan kami. Sebenarnya aku tidak
mengetahui apa duduk permasalahan antara keluargaku dan keluarganya. Yang aku
tahu hanyalah setelah kejadian itu kami canggung dan segan untuk mengobrol
lewat chat seperti sebelumnya.
Juga diulang
tahunnya aku tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Padahal, saat menjelang
ulang tahunnya dia berpesan kepadaku untuk memberinya ucapan selamat ulang
tahun yang ditulis dengan background Menara
Petronas dan Patung Merlion. Ya, ketika itu aku akan pergi ke Malaysia dan
Singapura untuk kunjungan akademik yang diadakan oleh Fakultas. Sebenarnya aku
sudah memenuhi permintaannya, tapi bodohnya aku tidak mengirimkannya tepat
diulang tahunnya. Aku merasa bersalah terhadapnya setelah apa yang ia lakukan
untukku. Aku menyesal dan ingin rasanya aku meminta maaf kepadanya, tapi
keadaan membungkamku untuk diam dan
menjadi sahabat yang tidak baik.
I
lost the person i never thought i could lose. Aku berharap hujan
tidak hanya membawakan kenanganku bersamanya. Aku ingin dia menjadi seperti
hujan yang akan selalu datang kembali setelah reda.
Kamu harus minta maaf dan berani untuk memulai menyapanya. Mungkin saja dia juga merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Yang perlu dilakukan adalah, mulai menyapa.
ReplyDeleteMakasih yaaaaa :)
Delete