Blogger templates

Monday, October 16, 2017

Kembalilah Seperti Hujan


Hasil gambar untuk rainy day
Source : Google
Hari ini hujan turun. Aku suka semua hal yang dibawa oleh hujan. Udara sejuk yang dibiuskan ke seluruh penjuru bumi, ribuan rintik airnya yang berlari mengejar bumi seolah memendam rindu sekaligus amarah, suara merdu ketika rintik air dan tanah bertemu, dan lumpur yang ditinggalkannya setelah mereka menyatu.

Hujan. Aku tidak tahu mengapa hujan selalu datang membawa memori yang tak terduga yang membawaku berjalan kembali menyusuri masa lalu. Kadang ia datang bersama kenangan yang aku sendiri bahkan tak mau mengingatnya lagi, sering juga hujan menghadiahiku kenangan menyenangkan yang aku dan sahabatku lalui bersama.

Kali ini hujan turun dengan membawa kerinduan, penyesalan, rasa kesal, dan amarah. Rindu kepada sosok yang selalu ada untukku sedari aku masih kanak-kanak. Perasaan menyesal untuknya yang juga selalu menjadi tempat untukku menceritakan semua hal yang terjadi padaku, tentangku, seolah tidak ada dinding privasi. Rasa kesal untuk Dia yang dulu berbakat mengubah kesalku berubah menjadi guyonan yang menggelikan. Juga amarah untuk Dia yang tidak pernah memarahiku tak peduli betapa menyebalkannya aku.

Aku dan Dia dulu adalah sahabat baik. Sangat baik, sangat dekat, menyayangi dan menjaga satu sama lain hingga akhirnya kami tidak berkomunikasi lagi untuk alasan yang sebenarnya tidak kupahami. Ketika aku bersamanya, aku merasa tidak membutuhkan orang lain lagi, cukup bersamanya. Aku merindukan sahabatku dulu. Dia yang mewarnai hari-hariku sejak SD hingga SMA, meskipun ketika SMA kami bersekolah di sekolah yang berbeda.

Aku tidak pernah membayangkan kami akan menjadi seperti ini. Diam dan sunyi. Tidak saling mengabari satu sama lain. Padahal jika dibandingkan zaman ketika SD yang tidak punya Handphone pun kami tetap bisa mengetahui keadaan masing-masing. Mungkin ini kedengaran berlebihan atau semacamnya mengingat semua orang pasti mempunyai sahabat. Tapi memang begitulah aku dan sahabatku.

Hujan mengajakku mengenang janji kami ketika masih kecil untuk selalu bersama, menjalani kehidupan yang baik, tumbuh bersama, dan menjadi apa yang kami cita-citakan. Seperti ritual anak kecil kebanyakan yang membuat janji dengan mengaitkan jari kelingking dan jempol mereka, yang kemudian jempolku kutempelkan kedahinya, begitu pun Dia. Itulah yang kami lakukan untuk mengikat janji kami berdua. Alasannya sih agar kami berdua mengingat janji itu selama-lamanya hehe.

Hmm, tapi semua itu dulu. Aku tidak tahu apakah ketika orang beranjak dewasa hubungan persahabatan yang telah terjalin sejak kecil akan luntur seiring banyaknya perbedaan kesibukan masing-masing. Aku harap itu tidak benar. Atau karena jarak yang jauh yang membuat seseorang malas untuk sekadar memberi tahu “Aku baik-baik saja”. Ahh entahlah.

Malam ini tidak banyak perbedaan seperti malam-malam lainnya, aku duduk di depan leptopku lalu mengetik huruf demi huruf di keyboard leptopku. Tapi kali ini hujan tak kunjung reda, dan terus menguak setiap kenanganku dengan sahabat baikku dulu.

Aku ingat, dulu setelah kami lulus SMA, aku dan sahabatku berkeinginan untuk berkuliah di kampus yang sama untuk mewujudkan janji ketika kecil untuk bersama-sama menjadi apa yang kami inginkan. Kami berdua meyakinkan kedua orangtua kami untuk berkuliah di Jawa. Tapi, saat itu penyakit bronkitisku yang sedang parah membuat kedua orangtuaku tidak mengizinkanku untuk berkuliah di Jawa. Pertimbangan udara yang lebih dingin di daerah Jawa memberatkan orangtuaku untuk memberiku izin berkuliah di Jawa mengingat penyakitku yang sensitif dengan udara dingin. Jawa adalah kota impianku untuk bisa menuntut ilmu dan meraih apa yang kuimpikan. Jadi, aku sangat sedih dan marah ketika itu. Sampai aku sadar bahwa kedua orangtuaku ingin memberikan yang terbaik untukku.

Ketika itu, sahabatku berhasil meyakinkan orangtuanya untuk merantau ke Jawa. Terbanglah ia ke Yogyakarta, dan aku di Pekanbaru. Aku bangga sekaligus terbesit rasa iri karena dia diizinkan berkuliah di Yogyakarta, tapi rasa banggaku kepadanya mengalahkan rasa iri yang tercela itu.

Awal-awal masuk kuliah intensitas komunikasi kami masih berjalan dengan baik. Aku selalu menanyakan bagaimana rasanya berkuliah di kota yang notabenenya sebagai kota pendidikan atau bertanya sudah mengunjungi tempat wisata di mana saja? Ahh.. mendengar dan melihat ekspresi wajahnya ketika menjawab pertanyaanku melalui videocall saja aku sudah tahu bahwa ia sangat bahagia. Ya, aku iri lagi untuk beberapa hal.

Tibalah ulang tahunku pada Desember tahun lalu. Dia mengirimiku voice note yang berisi suaranya menyanyikan lagu ulang tahun untukku dan mendoakanku segala hal baik akan datang padaku. Tidak hanya itu, ia juga mengirimiku fotonya yang sedang memegang kue ulang tahun untukku dengan wajah tersenyum yang diterangi oleh cahaya lilin. Aku sangat terharu dan bahagia karena walaupun jarak yang jauh aku tetap merasa ia dekat denganku.
Sampai akhirnya, aku mendengar kabar bahwa terjadi permasalahan di antara keluarga kami yang berimbas pada retaknya hubungan persahabatan kami. Sebenarnya aku tidak mengetahui apa duduk permasalahan antara keluargaku dan keluarganya. Yang aku tahu hanyalah setelah kejadian itu kami canggung dan segan untuk mengobrol lewat chat seperti sebelumnya.

Juga diulang tahunnya aku tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Padahal, saat menjelang ulang tahunnya dia berpesan kepadaku untuk memberinya ucapan selamat ulang tahun yang ditulis dengan background Menara Petronas dan Patung Merlion. Ya, ketika itu aku akan pergi ke Malaysia dan Singapura untuk kunjungan akademik yang diadakan oleh Fakultas. Sebenarnya aku sudah memenuhi permintaannya, tapi bodohnya aku tidak mengirimkannya tepat diulang tahunnya. Aku merasa bersalah terhadapnya setelah apa yang ia lakukan untukku. Aku menyesal dan ingin rasanya aku meminta maaf kepadanya, tapi keadaan  membungkamku untuk diam dan menjadi sahabat yang tidak baik.

I lost the person i never thought i could lose. Aku berharap hujan tidak hanya membawakan kenanganku bersamanya. Aku ingin dia menjadi seperti hujan yang akan selalu datang kembali setelah reda.

2 comments:

  1. Kamu harus minta maaf dan berani untuk memulai menyapanya. Mungkin saja dia juga merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Yang perlu dilakukan adalah, mulai menyapa.

    ReplyDelete