Blogger templates

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tuesday, November 28, 2017

Tiga Hari yang Padat

Aku bersama anggota kelompokku dan juga Pamong kami :) (cewek paling ujung kanan)

Haduuuhhhh sudah lama nggak nulis karena disibukkan dengan segala macam tugas kuliah dan juga tugas diorganisasiku. Yapp, kali ini aku bakal nulis pengalaman aku ketika mengikuti Pendidikan Kilat (Diklat) Jurnalistik Gagasan UIN Suska Riau. Nah, langsung saja ke-kegiatan apa saja yang aku jalani selama Diklat tiga hari.

Diklat dimulai dari 21-23 Oktober 2016. Ketika itu aku bersiap-siap untuk berangkat ke Gedung Teater Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk mengikuti pembukaan Diklat. Diklat tersebut dibuka langsung oleh Wakil Rektor III Bapak Tohirin, M.Pd. Saat itu peserta Diklat sekitar 20-an peserta.

Setelah acara pembukaan selesai, semua peserta Diklat dibawa ke Sekretariat Gagasan yang ada disayap kanan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Di sana kami menaruh barang-barang bawaan kami untuk menginap selama tiga hari. Kemudian kami mengikuti agenda selanjutnya, yang mana pembekalan tentang dasar-dasar jurnalistik. Dan itu sangat banyak dan jujur aku agak bosan sekaligus mengantuk karena memang kami digembleng dengan segala  ilmu dasar jurnalistik.

Seperti dari yang paling dasar apa sih itu jurnalistik, sembilan elemen jurnalistik, kode etik jurnalistik, teknik wawancara, cara menulis berita (semua jenis berita), serta teman-temannya yang lain. Semua materi tersebut dijelaskan oleh pembicara yang berbeda-beda, yang tentunya adalah orang-orang hebat. Jujur lagi, memang rasa kantuk itu datang silih berganti dengan rasa kagum seiring bergantinya pembicara. Yang mana aku sangat kagum dengan pembicara-pembicara yang begitu banyak memiliki prestasi dan juga cerdas. Banyak dari pemateri tersebut adalah alumni Gagasan, yang membuat aku tambah yakin dan termotivasi untuk bisa bertahan dan terus berkarya di Gagasan.

Di kegiatan Diklat itu nggak ada yang namanya wasting time. jam istirahat itu ya palingan ketika waktu sholat dan makan. itu pun sangat terbatas waktu yang diberikan, ya sekitar 15-an menitlah. Nah, disitulah aku merasa disatu sisi tersiksa karena sedikitnya jam istirahat tapi di sisi lain aku merasa memang seharusnya seperti ini kita menghargai dan memanfaatkan waktu dengan bijak.

Sedikit kilas balik tentang makanan yang kami makan saat Diklat, duhhhhh nikmat sekaleeeee. Terdengar hiperbola, tapi memang begitu adanya. Meskipun sederhana tapi ketika dimakan bersama itu memang beda sensasinya. Jadi, kami itu dibagi menjadi lima kelompok (seingat aku ya, maklum kalau salah karena kan sudah lama), dan setiap kelompok terdiri dari empat sampai lima orang (maklum lagi kalau salah). Setiap kelompok duduk melingkar bersama anggotanya, kemudian para malaikat baik dalam wujud kakak-kakak panitia konsumsi memberikan makanan endosnya ke kami. Makanan tersebut ditaruh ke dalam nampan besar kemudian kami memakannya bersama. Nahhhhh, lah kok aku beruntung dapat kelompok yang tidak begitu bringas dalam memakan makanan (karena aku seorang pemakan yang ganas). Alhamdulillahnya kelompok aku kalem dalam hal makan-memakan.

By the way, yippieeee hari pertama sudah terlewatkan. Lalu apa yang terjadi atau kegiatan apa dihari kedua? Hmmm, yupppp kami diterjunkan langsung ke lapangan untuk mempraktekkan materi yang sudah diberikan. Waktu itu, kami ke Museum Sang Nila Utama. Di Museum tersebutlah kami melakukan wawancara sebagai bahan untuk menulis berita. Kebingungan pun dimulai. Aku nggak tau harus mewawancara siapa. Jangankan untuk mewawancarai siapa, lah aku saja nggak tau masalah apa yang hendak aku wawancarakan (hiks). Di sini bukannya aku bo**h ya, ya karena kan kita itu dibagi kelompok dan juga banyak pesertanya, jadi ya isu-isu standar itu sudah dicaplok sama kelompok dan pesarta lain yang wuhhhh cekatan dan sigap. Ya seperti sejarah museum, perawatan musem sekaligus benda-benda yang ada di museum, renovasi museum (saat itu sedang renovasi), pengunjung museum, dan lain sebaginya. Meskipun lelah tapi ternyata menjadi wartawan sehari itu sangat menyenangkan. Walau hanya di lingkup museum, tapi untukku sudah luar biasa, what a good start.  

Setelah liputan di museum selama dua jam akhirnya kami kembali ke Sekretariat Gagasan. Setelah itu, kami diberikan materi lay-out. Ini nih, materi yang sangat nggak aku suka. Bukan karena tidak mengagumi hasil karya-karya lay-out, tapi ini susah menurutku. Kadang suka kesal dengan orang-orang yang pandai dalam me-lay-out, kenapa sampai saat ini aku nggak juga bisa (gimana mau bisa, belajar lay-out aja nggak). Yap, aku Cuma belajar lay-out ketika diklat, dan setelahnya tidak  kupelajari lagi karena ribet dan harus hapal setiap toolsnya.

Kemudian malam harinya dihari kedua, kami melakukan deadline. Di mana, hasil wawancara dari museum harus kami representasikan ke dalam sebuah tulisan. Duhh, pekerjaan besar. Bingung pun melanda lagi, kalang kabut karena nggak dapat ide. Karena jam sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi, dan mata sudah tak sanggup menahan kantuk, muncullah ide yang tak terduga. Akhirnya siap juga tugasku, dan kurebahkan badanku ke lantai keramik sekre yang tidak beralaskan karpet apalagi kasur.

Tibalah hari terakhir yakni hari ketiga. Semua hasil tulisan kami yang sudah di lay-out dalam bentuk majalah dipresentasikan. Dag dig dug, karena dalam presentasi tersebut tulisan kami bakal dikritik apa dan di mana yang masih kurang atau bahkan salah dalam penulisannya. Tapi, meskipun banyak yang salah bukan berarti kami tidak bisa dalam menulis, kesalahan adalah hal yang wajar untuk setiap awal yang baru dimulai. Dan hal yang tidak kalah penting adalah, ‘dikritik’ itu bukanlah sesuatu yang negatif. Dengan kritikan kita bisa berbenah kembali dan memperbaiki yang salah perlahan menjadi benar, yang buruk untuk ditinggalkan, yang sudah baik untuk dipertahankan alih-alih untuk ditingkatkan.


Wednesday, November 1, 2017

Usia Pacu Asa



Cuaca berawan pada Selasa, 31 Oktober 2017 menutupi teriknya sinar matahari sehingga cuaca tidak sepanas hari-hari biasanya dan membuat Rosnidar tidak terlalu gerah ketika mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di halaman Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Dengan mengenakan seragam Cleaning Service (CS), dengan cepat Rosnidar mencabut setiap rumput yang tumbuh kemudian digenggamnya dan dibuang ke tong sampah. Keringat lelahnya membasahi alisnya yang sudah berwarna hitam bercampur putih kemudian mengalir kepipinya, tak heran karena ia tidak hanya membersihkan halaman tapi juga semua kelas-kelas di lantai satu Gedung Tarbiyah.
Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Rosnidar dan petugas kebersihan lainnya beristirahat dan bersiap untuk melaksanakan ibadah sholat. Seusai sholat, ia makan siang dengan memakan semangka kuning yang dibelinya dari pedagang buah yang berjualan di belakang Masjid Al-Jami’ah UIN Suska. “Saya tidak bawa bekal, jadi beli semangka untuk makan siang,” Selorohnya sambil mengunyah.
Perempuan yang kerap disapa ‘Nenek’ oleh rekan-rekan kerjanya dan juga mahasiswa ini telah bekerja sebagai petugas kebersihan selama 11 tahun dimulai sejak 2007 silam. Bukan tanpa alasan orang-orang memanggilnya ‘Nenek’, sapaan tersebut melekat pada Rosnidar karena usianya yang sudah tua yakni 61 tahun.
Sebelum bekerja sebagai petugas kebersihan, perempuan bercucu enam ini pernah berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran seperti sawi, bayam, selada, dan kangkung di halaman belakang rumahnya yang berada di Jalan Arifin Achmad. Tetapi tidak berlangsung lama karena Rosnidar mengalami kerugian setiap kali hujan turun. “Kalau hujan, bibit sayurannya terbawa oleh air hujan, jadi tidak tumbuh” kenangnya sambil menyeka tetesan keringat yang mengalir dipelipisnya.
Setelah mengalami banyak kerugian dan tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli bibit sayuran, Rosnidar beralih bekerja menjualkan sayuran milik orang lain di pasar. Lagi, karena penghasilannya tidak terlalu besar, ia berhijrah ke Panam dan berniat mencari pekerjaan yang lain. Setelah pindah ke Panam tepatnya di Jalan Uka, ia pergi ke Universitas Riau (UR) untuk mencari pekerjaan sebagai petugas kebersihan, tetapi pada saat itu tidak dibuka lowongan pekerjaan untuk profesi tersebut. Tak patah asa, Rosnidar berusaha mencari pekerjaan di IAIN Susqo (sekarang UIN Suska) dan mendapatkan pekerjaan yang dicarinya.
Awal bekerja sebagai petugas kebersihan, Rosnidar bertugas membersihkan halaman dan kelas-kelas di gedung Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) dengan gaji 600 ribu rupiah. Dan sekarang, ia pindah tugas ke gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, tentu dengan gaji yang sudah merangkak naik, yakni menjadi 1.750.000 rupiah. Dengan gaji tersebut, ia memenuhi segala kebutuhan sehari-hari dan untuk membiayai anak bungsungya yang tengah berkuliah semester tujuh jurusan matematika di Fakultas Saintek UIN Suska Riau.
Kesulitan ekonomi Rosnidar semakin bertambah semenjak berpisah dengan suaminya sekitar delapan tahun lalu. Mengingat pendapatannya hanya bersumber dari hasil ia bekerja sebagai petugas kebersihan. Ia mengaku, gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kalau untuk bayar uang semester si bungsu, saya dibantu oleh anak-anak saya yang sudah menikah” jelasnya. Karena hal ini, ia berusaha bekerja lebih keras lagi agar mendapat gaji tambahan atau bonus bekerja. “Kalau ada acara wisuda di PKM, saya ikut bersih-bersih setelah acara selesai. Supaya dapat bonus,” ujarnya.
Bekerja sebagai petugas kebersihan selama 11 tahun, Ibu dari lima orang anak ini mengaku banyak pengalaman-pengalaman yang menyenangkan juga menyedihkan. Senang ketika melihat halaman dan kelas-kelas menjadi bersih berkat kinerjanya, pun sedih ketika melihat kamar mandi kotor karena ada mahasiswa yang setelah buang air besar tidak disiram padahal air banyak. “Saya kadang heran, tapi ya sudahlah. Memang sudah tugas saya untuk membersihkan yang kotor-kotor,” Ucapnya sembari tertawa kecil.

Diusianya yang sudah tidak muda lagi, ia tidak pernah berniat untuk pensiun dari pekerjaannya sebelum ia benar-benar tidak mampu bekerja lagi. “Saya berdo’a agar Allah memberikan kesehatan supaya bisa terus bekerja,” harapnya.

Tuesday, October 24, 2017

Perjalanan serta Serunya Jadi Wartawan Kampus



Haiii.. How’s life? Kali ini aku bakal sharing pengalaman aku jadi wartawan kampus. Nah, awalnya aku itu nggak tertarik sama sekali dengan dunia tulis menulis. Jangankan tertarik, membayangkan bakal begelut di dunia tinta ini saja nggak pernah terbesit dibenakku. Maklum, dulu waktu masih kecil dan kalau ditanya tentang cita-cita pasti aku jawab pengen jadi guru, dokter, polwan dan nggak pernah jawab “aku mau jadi wartawan!”.  Nggak pernah!
Aku sudah berkutat di dunia jurnalisme kampus ini selama satu tahun. Dan aku merasakan sekali kebaikan serta manfaat yang sangat berguna untukku yang notabenenya aku seorang Mahasiswi Jurnalistik. Oh iya, aku belajar semua tentang dunia kewartawanan ini dari organisasi Lembaga Pers Mahasiswa Gagasan UIN Suska Riau. Dari sinilah semua petualanganku dimulai.
Awal aku tahu tentang Gagasan itu ketika Penanaman Nilai Dasar Keislaman (PNDK). PNDK adalah semacam orientasi untuk mahasiswa baru agar mengenal sedikit lebih dalam kampus yang akan menjadi tempat mereka untuk meraih gelar sarjananya. Nah, waktu itu nggak cuma Gagasan tuh yang dikenalin ke mahasiswa/i baru, tapi semua organisasi yang ada dlingkungan kampus juga dikenalin. Nggak tau kenapa, dari cara kakak-kakak dan abang-abang Gagasan menggambarkan jika kami (mahasiswa baru) masuk atau bergabung dengan Gagasan itu sangat berkesan dan aku jadi berminat dan tertarik untuk bergabung di Gagasan.
Ya, meskipun awalnya aku ingin bergabung di Gagasan itu karena aku Mahasiswi Ilmu Komunikasi (Gagasan bukan organisasi khusus untuk mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi saja, tapi semua mahasiswa dari fakultas dan dari jurusan apapun bisa bergabung).  Saat itu aku galau karena aku tidak bisa menulis. Aku berpikir kalau aku tidak bisa menulis aku akan kesulitan menjalani kuliahku. Jangankan untuk menulis, aku adalah orang yang tidak suka membaca. Padahal penulis yang baik adalah berangkat dari hobi membaca. Nah, beruntungnya, Gagasan memberikan solusi dari  kegusaran dan kegundahanku yang tidak bisa menulis ini.
Eitssss, tapi nggak semudah yang aku bayangin untuk gabung di Gagasan. Aku yang polos ini mengira untuk bergabung di Gagasan itu hanya dengan membayar uang pendaftaran dan setelahnya beres, aku jadi bagian dari Gagasan. Ketika itu, sebagai syarat untuk mendaftar menjadi anggota Gagasan, selain membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 10.000, pelamar juga diwajibkan menulis essai tentang “Pers di Era Digital” kemudian tahap wawancara dan terakhir pengumuman lulus tidaknya. Nyaliku seketika menciut membaca syarat “Menulis essai” Gimana enggak coba? Aku kan belum bisa menulis. Orang aku mau gabung di Gagasan itu ya karena aku pengen diajarin menulis, lah ini belum diajarin malah sudah disuruh nulis essai. Nulis caption di instagram saja butuh waktu seminggu, apalagi ini disuruh nulis essai, tentang pers lagi. Gubrakkk.
Jujur saja saat itu aku melampirkan essai yang aku buat tidak sepenuhnya hasil pengetahuan, imajinasi dan pikiranku. Yep, google adalah guru besarku wkwk. Aku nyontek agak banyak kepada guruku itu dan hasilnya jrengg jreng jreeeenggggg... aku diterima di Gagasan cuy. Aku sangat bahagia dan saking senangnya aku bernazar untuk puasa selama lima hari sebagai rasa syukurku bisa bergabung di Gagasan. Konyol memang. Oh iya, katika itu yang mendaftar ratusan orang dan yang diterima itu cuma 40 orang. Masya Allah, beruntungnya aku. Thanks God!
Setelah diterima, aku mengikuti Pendidikan Kilat (Diklat) yang diadakan oleh Gagasan selama tiga hari dengan tujuan memberikan bekal pengetahuan tentang jurnalistik kepada anggota baru sebelum turun ke lapangan. Dari diklat inilah, kami (anggota baru) dihadapkan dengan pemateri-pemateri yang sangat luarbiasa hebat dibidangnya sehingga membuat aku pribadi lebih mengenal dunia jurnalistik dan sekarang aku malah mencintai profesinya. Inilah salah satu alasan yang membuat aku memilih konsentrasi Jurnalistik.
Jadi seorang jurnalis menurut aku banyak sukanya sih ketimbang dukanya. Lah gimana nggak coba? Kita, yang mahasiswa ini bisa kok dengan mudah nemuin Pak Rektor yang super sibuk di ruangannya yang pakai AC itu. Mau nemuin siapa lagi? Wakil Rektor? Kabag Akademik? Kabag Biro AUPK? Dekan dari fakultas lain?  Bisaaaa! Selain itu, kita jadi banyak kenal atau setidaknya tau pejabat-pejabat yang ada di kampus. Terus WOW yang lain lagi, kita sedikit (baca banyak) lebih tau loh dari teman kita tentang isu-isu yang lagi hangat di kampus kita.
Nahhhh, ini juga yang nggak kalah seru jadi jurnalis kampus. Misalnya nih, ada event-event besar di kampus, kita sebagai jurnalis kampus bisa dengan mudah loh ikutan masuk di acara itu. Terus misalnya ada rapat-rapat penting di Gedung Rektorat kita juga bisa ikutan, tapi semuanya dengan catatan dari semua yang kita ikutin itu ada informasi yang akan kita sampaikan atau layak diberitahukan kepada pembaca, bukan serta merta untuk gaya-gayaan, terus lupa deh dengan kewajiban kita. Pokoknya masih banyak lagi keseruan lain dengan jadi wartawan kampus.
Itu kan yang serunya, yang dukanya ada nggak? Pasti ada lah L. Sedihnya, pertama kita udah capek-capek nyari berita tapi nggak naik. Maksudnya, berita kita itu nggak layak untuk disajikan kepada pembaca. Hal semacam ini bisa karena data dari berita kita itu kurang lengkap, tidak berimbang, atau malah berita yang kita angkat itu sebenarnya nggak ada nilai beritanya (haha). Tapi, jangan karena berita kita nggak naik lantas membuat kita malas untuk mencari berita lain. Jadikan pengalaman tidak menyenangkan ini sebagai pemacu kita untuk mencari berita lebih banyak lagi, akurat, berimbang, dsb.
Kedua, pas mau wawancara dengan narasumber tapi narasumbernya susah ditemui atau kita harus menunggu lama misalnya seperti Rektor, WR, Kabag, dll. Kalau yang kayak gini, kita sebagai wartawan itu harus maklum karena kan mereka memang orang-orang penting dan pastinya sibuk dong. Intinya kalau sudah seperti ini kita harus tetap gigih mencari jam kosong lain si narasumber. Semangaaaattttt!
Kalau aku pribadi dengan hal semacam ini, nggak aku anggap sebagai sebuah derita atau kesedihan sih, tapi aku merasa ini loh nikmatnya jadi wartawan, di mana kita dilatih menjadi orang yang sabar dalam hal tunggu menunggu, di mana kita dilatih untuk menjadi seorang pendengar yang baik, di mana kita dilatih untuk besikap netral.
Ummm sekian, gimana tertarik nggak jadi wartawan kampus?


Monday, October 16, 2017

Kembalilah Seperti Hujan


Hasil gambar untuk rainy day
Source : Google
Hari ini hujan turun. Aku suka semua hal yang dibawa oleh hujan. Udara sejuk yang dibiuskan ke seluruh penjuru bumi, ribuan rintik airnya yang berlari mengejar bumi seolah memendam rindu sekaligus amarah, suara merdu ketika rintik air dan tanah bertemu, dan lumpur yang ditinggalkannya setelah mereka menyatu.

Hujan. Aku tidak tahu mengapa hujan selalu datang membawa memori yang tak terduga yang membawaku berjalan kembali menyusuri masa lalu. Kadang ia datang bersama kenangan yang aku sendiri bahkan tak mau mengingatnya lagi, sering juga hujan menghadiahiku kenangan menyenangkan yang aku dan sahabatku lalui bersama.

Kali ini hujan turun dengan membawa kerinduan, penyesalan, rasa kesal, dan amarah. Rindu kepada sosok yang selalu ada untukku sedari aku masih kanak-kanak. Perasaan menyesal untuknya yang juga selalu menjadi tempat untukku menceritakan semua hal yang terjadi padaku, tentangku, seolah tidak ada dinding privasi. Rasa kesal untuk Dia yang dulu berbakat mengubah kesalku berubah menjadi guyonan yang menggelikan. Juga amarah untuk Dia yang tidak pernah memarahiku tak peduli betapa menyebalkannya aku.

Aku dan Dia dulu adalah sahabat baik. Sangat baik, sangat dekat, menyayangi dan menjaga satu sama lain hingga akhirnya kami tidak berkomunikasi lagi untuk alasan yang sebenarnya tidak kupahami. Ketika aku bersamanya, aku merasa tidak membutuhkan orang lain lagi, cukup bersamanya. Aku merindukan sahabatku dulu. Dia yang mewarnai hari-hariku sejak SD hingga SMA, meskipun ketika SMA kami bersekolah di sekolah yang berbeda.

Aku tidak pernah membayangkan kami akan menjadi seperti ini. Diam dan sunyi. Tidak saling mengabari satu sama lain. Padahal jika dibandingkan zaman ketika SD yang tidak punya Handphone pun kami tetap bisa mengetahui keadaan masing-masing. Mungkin ini kedengaran berlebihan atau semacamnya mengingat semua orang pasti mempunyai sahabat. Tapi memang begitulah aku dan sahabatku.

Hujan mengajakku mengenang janji kami ketika masih kecil untuk selalu bersama, menjalani kehidupan yang baik, tumbuh bersama, dan menjadi apa yang kami cita-citakan. Seperti ritual anak kecil kebanyakan yang membuat janji dengan mengaitkan jari kelingking dan jempol mereka, yang kemudian jempolku kutempelkan kedahinya, begitu pun Dia. Itulah yang kami lakukan untuk mengikat janji kami berdua. Alasannya sih agar kami berdua mengingat janji itu selama-lamanya hehe.

Hmm, tapi semua itu dulu. Aku tidak tahu apakah ketika orang beranjak dewasa hubungan persahabatan yang telah terjalin sejak kecil akan luntur seiring banyaknya perbedaan kesibukan masing-masing. Aku harap itu tidak benar. Atau karena jarak yang jauh yang membuat seseorang malas untuk sekadar memberi tahu “Aku baik-baik saja”. Ahh entahlah.

Malam ini tidak banyak perbedaan seperti malam-malam lainnya, aku duduk di depan leptopku lalu mengetik huruf demi huruf di keyboard leptopku. Tapi kali ini hujan tak kunjung reda, dan terus menguak setiap kenanganku dengan sahabat baikku dulu.

Aku ingat, dulu setelah kami lulus SMA, aku dan sahabatku berkeinginan untuk berkuliah di kampus yang sama untuk mewujudkan janji ketika kecil untuk bersama-sama menjadi apa yang kami inginkan. Kami berdua meyakinkan kedua orangtua kami untuk berkuliah di Jawa. Tapi, saat itu penyakit bronkitisku yang sedang parah membuat kedua orangtuaku tidak mengizinkanku untuk berkuliah di Jawa. Pertimbangan udara yang lebih dingin di daerah Jawa memberatkan orangtuaku untuk memberiku izin berkuliah di Jawa mengingat penyakitku yang sensitif dengan udara dingin. Jawa adalah kota impianku untuk bisa menuntut ilmu dan meraih apa yang kuimpikan. Jadi, aku sangat sedih dan marah ketika itu. Sampai aku sadar bahwa kedua orangtuaku ingin memberikan yang terbaik untukku.

Ketika itu, sahabatku berhasil meyakinkan orangtuanya untuk merantau ke Jawa. Terbanglah ia ke Yogyakarta, dan aku di Pekanbaru. Aku bangga sekaligus terbesit rasa iri karena dia diizinkan berkuliah di Yogyakarta, tapi rasa banggaku kepadanya mengalahkan rasa iri yang tercela itu.

Awal-awal masuk kuliah intensitas komunikasi kami masih berjalan dengan baik. Aku selalu menanyakan bagaimana rasanya berkuliah di kota yang notabenenya sebagai kota pendidikan atau bertanya sudah mengunjungi tempat wisata di mana saja? Ahh.. mendengar dan melihat ekspresi wajahnya ketika menjawab pertanyaanku melalui videocall saja aku sudah tahu bahwa ia sangat bahagia. Ya, aku iri lagi untuk beberapa hal.

Tibalah ulang tahunku pada Desember tahun lalu. Dia mengirimiku voice note yang berisi suaranya menyanyikan lagu ulang tahun untukku dan mendoakanku segala hal baik akan datang padaku. Tidak hanya itu, ia juga mengirimiku fotonya yang sedang memegang kue ulang tahun untukku dengan wajah tersenyum yang diterangi oleh cahaya lilin. Aku sangat terharu dan bahagia karena walaupun jarak yang jauh aku tetap merasa ia dekat denganku.
Sampai akhirnya, aku mendengar kabar bahwa terjadi permasalahan di antara keluarga kami yang berimbas pada retaknya hubungan persahabatan kami. Sebenarnya aku tidak mengetahui apa duduk permasalahan antara keluargaku dan keluarganya. Yang aku tahu hanyalah setelah kejadian itu kami canggung dan segan untuk mengobrol lewat chat seperti sebelumnya.

Juga diulang tahunnya aku tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Padahal, saat menjelang ulang tahunnya dia berpesan kepadaku untuk memberinya ucapan selamat ulang tahun yang ditulis dengan background Menara Petronas dan Patung Merlion. Ya, ketika itu aku akan pergi ke Malaysia dan Singapura untuk kunjungan akademik yang diadakan oleh Fakultas. Sebenarnya aku sudah memenuhi permintaannya, tapi bodohnya aku tidak mengirimkannya tepat diulang tahunnya. Aku merasa bersalah terhadapnya setelah apa yang ia lakukan untukku. Aku menyesal dan ingin rasanya aku meminta maaf kepadanya, tapi keadaan  membungkamku untuk diam dan menjadi sahabat yang tidak baik.

I lost the person i never thought i could lose. Aku berharap hujan tidak hanya membawakan kenanganku bersamanya. Aku ingin dia menjadi seperti hujan yang akan selalu datang kembali setelah reda.

Wednesday, September 27, 2017

Kebutuhan Bukan Keinginan


Hasil gambar untuk needs
Source : Google

Cici. Begitu sapaannya. Dia adalah seorang mahasiswi semester tiga di salah satu kampus dengan jargon  ‘world class university’ yang dikenal dengan UIN Suska Riau. Cici merantau dari kampung halamannya yang terletak di Kabupaten Indragiri Hulu. Dia dikandung dan dilahirkan di kabupaten tersebut yang di mana masyarakatnya masih berpegang teguh pada sistem paguyuban. Cici sangat mencintai kampung halamannya itu karena masyarakatnya yang begitu ramah dan suka membantu sesama.
Setelah dilahirkan dan dirawat dengan penuh kasih sayang dari kedua orangtuanya, Cici pun tumbuh menjadi anak yang baik dan periang. Menginjak usia enam tahun kurang lima bulan, saking bahagianya, kedua orangtua Cici mendaftarkannya untuk masuk Sekolah Dasar (SD). Kebahagiaan itu pun Cici rasakan juga karena ia memang ingin sekali masuk sekolah. Tapi nasib berkata lain, usia Cici yang belum cukup ideal untuk masuk SD membuatnya ditolak mentah-mentah di SD kebanggaan masyarakat Bukit Lingkar tersebut.
Dengan menangis tersedu-sedu, Cici digendong oleh Ayahnya. Cici sangat terpukul atas kejadian yang menimpa dirinya itu. Melihat keadaan Cici, ayahnya sangat iba dan sedih melihat putri bungsunya yang terus menangis karena iri melihat teman-temannya dapat segera sekolah dan bisa jajan lontong sayurnya Bu Sari yang terkenal kelezatannya di kalangan warga SD setiap hari. Ayahnya terus melangkah dengan menggendongnya untuk pulang ke rumah.
Setelah satu tahun kemudian, Cici kembali mendaftar di sekolah yang telah menolaknya tahun lalu. Dengan semangat baru dan tentu dengan usia yang semakin ideal untuk menjadi siswi SD, Cici dengan percaya diri mendaftar dan kali ini nasib baik menghampirinya. Yap, Cici resmi menjadi siswi SDN 022 Bukit Lingkar. Di sekolah itu Cici mendapatkan begitu banyak teman dan enam tahun kemudian ia lulus dari SD itu yang kini berubah nama menjadi SDN 023 Bukit Lingkar.
Setelah lulus, guru SD Cici menyarankannya untuk melanjutkan SMP di salah satu Sekolah yang ada di Belilas. Kabar rekomendasi ini sampai ke telinga kedua orangtua Cici, dan mereka langsung mengiyakan saran dari guru tersebut. Akhirnya Cici didaftarkan di sekolah tersebut dan diterima. Dengan diterimanya Cici di SMP tersebut, berarti ini momen dimulainya di mana Cici harus tinggal jauh dari kedua orangtuanya. Cici harus ngekos karena jarak sekolahnya yang cukup jauh dari rumahnya.
Seminggu pertama, Cici terus menangis karena teringat akan kedua orangtuanya. Apalagi ditambah dengan perlakuan anak bungsu si pemilik kos yang tidak begitu menyukainya. Cici hampir saja menyerah dan ingin pulang saja. Tetapi, ia mengurungkan niatnya itu, mengingat kedua orangtuanya yang sangat bahagia dan bangga kepadanya karena sudah bisa hidup mandiri. Minggu demi minggu pun berlalu, Cici mulai nyaman dan mendapatkan banyak teman baru yang berasal dari berbagai daerah yang juga sama sepertinya tinggal jauh dari kedua orangtua mereka. Cici mendapatkan semangat baru karena dia sadar bahwa dia tidak seorang diri yang jauh dari orangtuanya.
Tiga tahun kemudian Cici lulus dari SMP tersebut dan melanjutkan sekolah di SMAN 1 Rengat. Sama seperti saat masa SMP, Cici bersekolah dengan baik dan menjadi siswi yang taat pada peraturan sekolah. Oh iya, saat SMA, Cici mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yang mana jurusan ini adalah jurusan yang sedari dulu dianggap jurusan ‘buangan’ dengan siswa-siswinya yang bodoh dan bandel-bandel. Ketika memilih jurusan tersebut, Cici harus beradu argumen dengan Wali Kelasnya karena guru tersebut tidak setuju jika Cici memilih jurusan IPS. Tetapi Cici tetap teguh dengan pendiriannya dan mantap memilih jurusan IPS. Tiga tahun berlalu, Cici pun lulus dari sekolah yang mengajarkan banyak hal dan berbagai ilmu pengetahuan yang akan bermanfaat di masa depan.
Pada saat setelah melepas status siswi SMA nya, Cici berpikir keras untuk bisa lulus tes SBMPTN Hubungan Internasional Unpad, setelah pengumuman SNMPTN di website meminta maaf kepadanya dengan teks berwarna merah menyala yang bertuliskan bahwa Cici gagal dalam seleksi ini. Tidak patah semangat, Cici berusaha mengikuti bimbingan belajar (Bimbel) di salah satu lembaga Bimbel yang ada di Pekanbaru. Dengan mengorbankan waktu liburnya sekitar tiga bulan itu, Cici belajar sungguh-sungguh pada saat bimbel agar tidak terjadi kejadian penolakan yang serupa. Semangat Cici semakin membara dikala teman-teman bimbelnya juga sama-sama memiliki impian yang sama dengannya, yaitu ingin berkuliah di PTN favorit.
Tibalah hari H dari tes SBMPTN tersebut. Cici mengikuti ujian SBMNPTN itu di kampus UNRI Gobah di gedung F. Pada saat itu, Cici mengikuti tes dengan memilih jurusan Hubungan Internasional Unpad  yang mana universitas impiannya yang dulu menolaknya ketika SNMPTN dan pilihan keduanya yaitu jurusan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau sebagai pilihan alternatif. Ternyata pada saat tes berlangsung, soal yang diujikan sangat sulit dan Cici sangat pesimis. Dan benar saja, hati nurani tidak akan pernah berbohong. Cici ditolak dan gagal untuk kedua kalinya. Tapi yang kuasa masih menyelipkan kebahagiaan atas semua kesedihan Cici. Kebahagiaan itu diberikan oleh Allah dengan menjadikan Cici mahasiswi UIN Suska Riau.
Cici kemudian memberi tahu kedua orangtuanya dengan berpura-pura bahagia diterima di UIN Suska. Keberpura-puraan itu Cici lakukan agar orangtuanya tidak merasa sedih dan kecewa. Dan juga, Cici ingat pengorbanan kedua orangtuanya untuk memasukan bimbel untuknya menghabiskan uang yang cukup banyak. Ya, meskipun ilmu komunikasi adalah jurusan yang juga diinginkannya, tetapi kenangan impian ingin menjadi mahasiswi Unpad terus saja menghantui pikirannya.
Sebulan setelah mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswi ilmu komunikasi, Cici masih teringat akan impiannya untuk menjadi mahasiswi Unpad. Dan itu terus mengganggu pikirannya, hingga di mana Cici merasa harus menyudahi impian tersebut dan fokus kuliah sebagai mahasiswi UIN Suska. Cici berpikir bahwa ia tidak boleh terus seperti ini, karena ia takut akan mengecewakan kedua orangtuanya yang telah bersusah payah membiayainya untuk kuliah dan memenuhi segala kebutuhannya tidak peduli betapa lelahnya mereka bekerja. Dengan hati yang ikhlas dan berlapang dada, Cici menjalani perkuliahan dengan semangat yang baru dengan membuang jauh-jauh impiannya untuk menjadi mahasiswi Unpad.
Tahun pertama dan dua semester telah dilaluinya. Cici baru merasakan bahwa apa yang diinginkannya tidak selalu apa yang lebih dibutuhkannya. Yang kuasa telah memberikan jalan kesuksesannya melalui UIN Suska dan bukan melalui Unpad. Cici sekarang sudah ada di semester ketiganya dan sudah memilih konsentrasi jurusan yang diinginkannya. Ya, konsentrasi Jurnalistik kini menjadi dunia Cici dan ia menikmati dunia barunya itu.