Blogger templates

Tuesday, October 24, 2017

Perjalanan serta Serunya Jadi Wartawan Kampus



Haiii.. How’s life? Kali ini aku bakal sharing pengalaman aku jadi wartawan kampus. Nah, awalnya aku itu nggak tertarik sama sekali dengan dunia tulis menulis. Jangankan tertarik, membayangkan bakal begelut di dunia tinta ini saja nggak pernah terbesit dibenakku. Maklum, dulu waktu masih kecil dan kalau ditanya tentang cita-cita pasti aku jawab pengen jadi guru, dokter, polwan dan nggak pernah jawab “aku mau jadi wartawan!”.  Nggak pernah!
Aku sudah berkutat di dunia jurnalisme kampus ini selama satu tahun. Dan aku merasakan sekali kebaikan serta manfaat yang sangat berguna untukku yang notabenenya aku seorang Mahasiswi Jurnalistik. Oh iya, aku belajar semua tentang dunia kewartawanan ini dari organisasi Lembaga Pers Mahasiswa Gagasan UIN Suska Riau. Dari sinilah semua petualanganku dimulai.
Awal aku tahu tentang Gagasan itu ketika Penanaman Nilai Dasar Keislaman (PNDK). PNDK adalah semacam orientasi untuk mahasiswa baru agar mengenal sedikit lebih dalam kampus yang akan menjadi tempat mereka untuk meraih gelar sarjananya. Nah, waktu itu nggak cuma Gagasan tuh yang dikenalin ke mahasiswa/i baru, tapi semua organisasi yang ada dlingkungan kampus juga dikenalin. Nggak tau kenapa, dari cara kakak-kakak dan abang-abang Gagasan menggambarkan jika kami (mahasiswa baru) masuk atau bergabung dengan Gagasan itu sangat berkesan dan aku jadi berminat dan tertarik untuk bergabung di Gagasan.
Ya, meskipun awalnya aku ingin bergabung di Gagasan itu karena aku Mahasiswi Ilmu Komunikasi (Gagasan bukan organisasi khusus untuk mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi saja, tapi semua mahasiswa dari fakultas dan dari jurusan apapun bisa bergabung).  Saat itu aku galau karena aku tidak bisa menulis. Aku berpikir kalau aku tidak bisa menulis aku akan kesulitan menjalani kuliahku. Jangankan untuk menulis, aku adalah orang yang tidak suka membaca. Padahal penulis yang baik adalah berangkat dari hobi membaca. Nah, beruntungnya, Gagasan memberikan solusi dari  kegusaran dan kegundahanku yang tidak bisa menulis ini.
Eitssss, tapi nggak semudah yang aku bayangin untuk gabung di Gagasan. Aku yang polos ini mengira untuk bergabung di Gagasan itu hanya dengan membayar uang pendaftaran dan setelahnya beres, aku jadi bagian dari Gagasan. Ketika itu, sebagai syarat untuk mendaftar menjadi anggota Gagasan, selain membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 10.000, pelamar juga diwajibkan menulis essai tentang “Pers di Era Digital” kemudian tahap wawancara dan terakhir pengumuman lulus tidaknya. Nyaliku seketika menciut membaca syarat “Menulis essai” Gimana enggak coba? Aku kan belum bisa menulis. Orang aku mau gabung di Gagasan itu ya karena aku pengen diajarin menulis, lah ini belum diajarin malah sudah disuruh nulis essai. Nulis caption di instagram saja butuh waktu seminggu, apalagi ini disuruh nulis essai, tentang pers lagi. Gubrakkk.
Jujur saja saat itu aku melampirkan essai yang aku buat tidak sepenuhnya hasil pengetahuan, imajinasi dan pikiranku. Yep, google adalah guru besarku wkwk. Aku nyontek agak banyak kepada guruku itu dan hasilnya jrengg jreng jreeeenggggg... aku diterima di Gagasan cuy. Aku sangat bahagia dan saking senangnya aku bernazar untuk puasa selama lima hari sebagai rasa syukurku bisa bergabung di Gagasan. Konyol memang. Oh iya, katika itu yang mendaftar ratusan orang dan yang diterima itu cuma 40 orang. Masya Allah, beruntungnya aku. Thanks God!
Setelah diterima, aku mengikuti Pendidikan Kilat (Diklat) yang diadakan oleh Gagasan selama tiga hari dengan tujuan memberikan bekal pengetahuan tentang jurnalistik kepada anggota baru sebelum turun ke lapangan. Dari diklat inilah, kami (anggota baru) dihadapkan dengan pemateri-pemateri yang sangat luarbiasa hebat dibidangnya sehingga membuat aku pribadi lebih mengenal dunia jurnalistik dan sekarang aku malah mencintai profesinya. Inilah salah satu alasan yang membuat aku memilih konsentrasi Jurnalistik.
Jadi seorang jurnalis menurut aku banyak sukanya sih ketimbang dukanya. Lah gimana nggak coba? Kita, yang mahasiswa ini bisa kok dengan mudah nemuin Pak Rektor yang super sibuk di ruangannya yang pakai AC itu. Mau nemuin siapa lagi? Wakil Rektor? Kabag Akademik? Kabag Biro AUPK? Dekan dari fakultas lain?  Bisaaaa! Selain itu, kita jadi banyak kenal atau setidaknya tau pejabat-pejabat yang ada di kampus. Terus WOW yang lain lagi, kita sedikit (baca banyak) lebih tau loh dari teman kita tentang isu-isu yang lagi hangat di kampus kita.
Nahhhh, ini juga yang nggak kalah seru jadi jurnalis kampus. Misalnya nih, ada event-event besar di kampus, kita sebagai jurnalis kampus bisa dengan mudah loh ikutan masuk di acara itu. Terus misalnya ada rapat-rapat penting di Gedung Rektorat kita juga bisa ikutan, tapi semuanya dengan catatan dari semua yang kita ikutin itu ada informasi yang akan kita sampaikan atau layak diberitahukan kepada pembaca, bukan serta merta untuk gaya-gayaan, terus lupa deh dengan kewajiban kita. Pokoknya masih banyak lagi keseruan lain dengan jadi wartawan kampus.
Itu kan yang serunya, yang dukanya ada nggak? Pasti ada lah L. Sedihnya, pertama kita udah capek-capek nyari berita tapi nggak naik. Maksudnya, berita kita itu nggak layak untuk disajikan kepada pembaca. Hal semacam ini bisa karena data dari berita kita itu kurang lengkap, tidak berimbang, atau malah berita yang kita angkat itu sebenarnya nggak ada nilai beritanya (haha). Tapi, jangan karena berita kita nggak naik lantas membuat kita malas untuk mencari berita lain. Jadikan pengalaman tidak menyenangkan ini sebagai pemacu kita untuk mencari berita lebih banyak lagi, akurat, berimbang, dsb.
Kedua, pas mau wawancara dengan narasumber tapi narasumbernya susah ditemui atau kita harus menunggu lama misalnya seperti Rektor, WR, Kabag, dll. Kalau yang kayak gini, kita sebagai wartawan itu harus maklum karena kan mereka memang orang-orang penting dan pastinya sibuk dong. Intinya kalau sudah seperti ini kita harus tetap gigih mencari jam kosong lain si narasumber. Semangaaaattttt!
Kalau aku pribadi dengan hal semacam ini, nggak aku anggap sebagai sebuah derita atau kesedihan sih, tapi aku merasa ini loh nikmatnya jadi wartawan, di mana kita dilatih menjadi orang yang sabar dalam hal tunggu menunggu, di mana kita dilatih untuk menjadi seorang pendengar yang baik, di mana kita dilatih untuk besikap netral.
Ummm sekian, gimana tertarik nggak jadi wartawan kampus?


2 comments:

  1. Tertarik sekali. Aku juga gabung pers kampus dan happy. banyak manfaat yang di dapat😏😏

    ReplyDelete